Selasa, 19 Januari 2016

TRADISI WARGA NU (ASWAJA)





aswaja

(Tradisi kaum NU)

Disusun untuk memenuhi tugas semester VI


Dosen Pembimbing:

Drs. H. Machjan Arif




Penyusun:
Fatchul Anwar


Sokolah Tinggi Agama Islam Bahrul Ulum
Tambakberas jombang
2012
  





KATA PENGANTAR



السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه, اما بعد
            Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan penulis keni’matan, yaitu berupa kesehatan jasmani ataupun rohani sehingga dalam waktu yang ditentukan penulis telah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bapak Drs. H. Mahjan Arief. yaitu tugas aswaja, dimana isi daripada aswaja sendiri terdapat beberapa adat kebiasaan kaum Nahdliyin. Dan tak lupa terima kasih penulis yang tak terhingga kepada Bapak Drs. H. Mahjan Arief. atas apa yang telah beliau berikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas aswaja ini dengan sebaik-baiknya.
            Adapun adat kebiasaan dari kalangan kaum Nahdliyin merupakan suatu bentuk kesunnahan dari Rasulullah SAW yang telah diwariskan kepada kita semua. Di sini penulis telah menguraikan beberapa adat-adat kebiasaan yang dilakukan oleh kalangan kaum Nahdliyin menurut sumber hukum islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits.
            Demikian sepatah kata yang diberikan oleh penulis, untuk kurang lebihnya penulis mohon maklum atas kekurangan dari tugas ini.


والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته





                                                                                    Jombang, 20 mei 2012



Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................... ii

AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH
1.      pengertian ahlu al-sunnah wa al-jama’ah............................... 1
2.      Aswaja dan Perkembangan Sosial Budaya............................. 2         

A.    TAHLIL..................................................................................... 3
B.     TALQIN..................................................................................... 7
C.    QUNUT...................................................................................... 10
D.    BILANGAN SHALAT TARAWIH........................................ 19
E.     ADZAN DUA KALI DALAM SHALAT JUM’AT.............. 24
F.     MENGUCAPKAN USHOLLI DALAM NIAT SHALAT... 26
DAFTAR PUSTAKA..................................................................... 35

 


AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH

1.      pengertian ahlu al-sunnah wa al-jama’ah
Konsep aswaja selama ini masih menjadi rebutan setiap golongan, semua kelimpok mengaku dirinya adalah pengaut ajaran aswaja dan tidak jarang juga di gunakan untuk kepentingan sesaat. Apakah aswaja itu? Bagaimanakah pula dengan klaim itu, dapatkah dibenarkan?
Aswaja merupakan singkatan dari ahlu al-sunnah wa al-jama’ah, dan dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut :
  1. Ahlun berarti keluarga, golongan atau pengikut
  2. Al-sunnah yaitu segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, meliputi perbuatan, perkataan, dan ketetapanya
  3. Al-jama’ah yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa al-khulafaurrasyidin.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syekh Abdul Qodir Jalilani dalam kitab al-ghunayah li thalibi thariq al-haqq, juz I, hal.80
فاالسٌّنة ماسُنَّة رسول الله صلى الله عليه وسلم , والجماعة مااتّفق عليه اصحاب رَسُول اللهِ صلّى اللهُ عليهِ وسلّمَ فى خلافة الأمَّةِ الأربعةِ الخلفاءِ الراشدينَ الْمهديٌن رحمةُ اللهِ عليهم اجمعين ( الغنية لطالب طريق الحق جز 1 ص80  )
Artinya : Yang dimaksud dengan al-sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW meliputi ucapan, prilaku serta ucapan beliau. Sedangkan pengertian al-jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah SAW. Pada masa al-khulafaurrasyidin yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah SWT memberi rahmat pada mereka semua). Al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haqq juz I hal.80.
            Jadi aswaja merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain ada tiga cirri khas kelompok ini, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, ketiga cirri tersebut adalah :
a.       Al-tawassuth yaitu sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri maupun ekstri kanan.
b.      Al-tawazzun yaitu seimbang dengan segala hal termasuk dalam menggunakan dalil aqli dan dalil naqli
c.       Al-I’tidal yaitu tegak lurus
Ketuga prinsip tersebut dapat dilihat dalam keyakinan keagamaan (teology), perbuata lahiriyah serta masalah akhlaq yang mengatur gerak hati(tasawwuf). Dalam praktek keseharian , ajaran ahlu al-sunnah wa al-jama’ah dibidang teologi tercerminkan dalam rumusan yang digagas leh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidzi, sedangkan dalam masalah perbuatan badaniyah terwuud dalam mengikuti madzhab empat, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali, dan dalam tasawuf mengikuti rumusan Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
2.      Aswaja dan Perkembangan Sosial Budaya
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang paling sempurna diandingkan makhluk-makhluk lainnya. Manusia diberi akal budi dan hati nurani dan fungsi kekhalifahan untuk mengatur kehidupan dimuka bumi ini.
Sejarah kehidupan yang dibangun manusia telah menghasilkan peradaban, kebudayaan dan tradisi sebagai wujud karya dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup yang dihadapi dalam lingkungan Negara atau wilayah tertentu. Suatu bangsa atau suku membangun kebudayaan serta peradaban sesuai dengan prinsip atau nilai-nilai social serta pandangan hidup yang diperoleh dari ajaran agama atau faham yang dianut, kebudayaan dan tradisi merupakan kenyataan dan dialektika sejarah yang meyebabkan terjadinya saling mempengaruhi, percampuran, serta perbenturan yang sesuai dengan daya tahan dan daya serap masing-masing.
Dari sinilah muncul gerakan untuk kembali kepada nilai-nilai, norma, serta tradisi agung dan luhur yang selalu mengedepankan kebersamaan, persaudaraan serta kedamaian. Hal ini dimaksudkan untuk meneguhkan apa yag diamalka oleh kaum Nahdliyin itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.kendati demikian kita harus mengembangkan sikap toleransi dalam arti menghormati keyakinan orang lain tanpa harus menyetujuinya, kita tetap berpijak pada tradisi dan amaliyah NU secara utuh tanpa harus memaksa orang lain untuk di NU-kan. Tradisi ini antara lain adalah tahlil, talqin, qunut, 20 rakaat dalam sholat tarawih, adzan dua kali dalam sholat jum’at, niat sholat diawali dengan usholi, dll. Berikut ini penulis telah menjelaskan tentang tradisi orang NU seperti yang disebutkan diatas.

A.    TAHLIL
Tahlil berasal dari kata هلّلَ – يُهْلِلُ - تَهْليلاً yang berarti membaca kalimatلااله الاالله  Sedangkan menurut pengertian yang berkembang dalam masyarakat adalah membaca kalimat thayyibah (sholawat, tahlil, istighfar, fatihah, surat ihlas, mu’awidxatain, dll) yang pahalnya ditunjukkan kepada arwah keluarga yang bersangkutan.
والذين جاءو من بعدهم يقولون ربناغفرلنا ولاواننا الذين سبقون با الايمان ولا تجعل فى قلوبنا غلاالذين امنو ربنا انك رؤوف الرحيم (10)
Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (muhajirin dan ansor), mereka berdoa : “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami, dan janganlah engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engaku Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hasyr:10).
عن النّبيِّ صلّى الله عليه وسلّم قال ( كلمتانِ خفيفتانِ على اللسان ثقيلتان فى الميزان حبيبتان الى الّرحمن سبحن الله وبحمده سبحن الله العظيم) . رواه البخارى (احاديث مخترة من الصّحيحين)
Artinya : Rasul bersabda dua kalimat yang ringan bagi lisan dan berat (timbagan kebijaksanaan) di mizan( timbangan amal akhirat), dan dicintai oleh dzat yang mempuyai belas kasih adalah kalimat subhanallah wabihamdihi subhanallahil adlim. HR. Bukori (dalam kitab Akhadits Muhtar Min Al- Shohihain).
قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ماالميِّتُ فى قبره الاّ كا الغريقِ المتغوِّثِ ينتظر دعوة تلحقه من ابيه او اخيه اوصديق له فإذا لحقته كان احبُّ اليه من الدنيا وما فيها وإن هدايا الأحياء للأموات الدعاء والإستغفار
Artinya :Rasulullah SAW bersabda : tiada seorangpun dari mayit dalamkuburnya kecuali dengan keadaan seperti orang tenggelam yang banyak meminta tolong, dia menanti doa dari ayah dan saudara atau seorang teman yang ditemuinya, apabila ia telah menemukan doa tersebut, maka doa itu menjadi sesuatu yang lebih dicintai daripada dunia dan seisinya, dan apabila yang masih hidup ingin memberikan hadiah kpada orang yang sudah meninggal dunia adalah dengan doa dan istighfar. (ihya’ulum al-din, juz IV, hal.476).
            Berkumpul untuk melaksanakna tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat islam Indonesia, meskipun format acaranya tidak diajarkan langsung oleh Rasulullah, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak ada satupun unsure-unsur yang di dalamnya terdapat amalan yang bertentangan dengan ajaran islam, misalnya pembacaan surat Yasin, tahlil, tahmid, tasbih dan semacamnya. Karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan dari tuntunan Rasulullah SAW.
            Imam Al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang didalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca Al-Qur’an, dzikir dan doa itu adalah perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasul SAW. Begitu pula tidak ada larangan untuk menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggaldunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih  seperti “bacalah surat Yasin kepada orang mati diantara kamu”. Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama didekat mayit atau di atas kuburannya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah.(Al-Syukani, Al-Rasa’il Al-Salafiyyah, hal 46).
            Kesimpulan Al-Syukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi SAW, diantaranya adalah:
عن ابي سعيد الخدري قال ول الله صلّى الله عليه سلّم: لا يقعد قوم يذكرون الله عزوجلّ الاّخفَّتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده (رواه مسلم4868
Artinya : dari abi sa’id al-khudri ia berkata, Rasulullah SAW berkata : tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada ALLAH SWT kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan ALLAH SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya dihadapan makhluk yang ada di sisi-Nya. (HR. Al-Muslim 4868).
            Kaitannya dengan pendapat Imam Syafi’I  “dan aku tidak senang pada ma’tam yakni adanya perumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.” (Al-Umm, juz I, hal. 318).
            Perkataan Imam Syafi’i r.a ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena dianggap merupakan salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut. Padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam  tu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan. (Al-Munjid, 2).
            Ma’tam yang tidak disenangi oleh Imam Syafi’I adalah perkumpulan untuk meratapi kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai, seolah-olah tidak terima apa yang di gariskan oleh ALLAH SWT. Dan itu sama sekali tidak terjadi bagi orang yang melaksanakan tahlilan yang didalamya terdapat dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia, sehingga lebih tepat jika tahlilan itu disebut sebagai majlis dzikir.
            Bagi keluarga yag ditinggalkan, tahlilan itu merupakan pelipur lara dan penghapus dosa karena telah ditinggalkan oleh orang yang disayanginya, bukan penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang, justru tua rumah akan kecewa dan bertambah sedih jika yang datang untuk tahlilan sangat sedikit. Dalam setiap pelaksanaan tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang mengikuti tahlilan, selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada keluarga yang sudah meninggal dunia. Motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan terhadap tamu yang turut mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan, memberikan makanan kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji.
            Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makan, kebunpun (harta yang berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan :
عن ابن عباس أنّ رجلاً قال يت رسول الله إنَّ أمِّي توفيت أفينفعها إن تصدقت عنها قال نعم قال فإنَّ لي مخرفا فأشهدك أنّي قد تصدقت به عنها (رواه الترميذي 605)
Artinya : Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasuluulah SA, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?”, Rasulullah SAW menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata lagi, “aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan mempersedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR. Tirmidzi [605]).
            Ibnu Qayyim al-Jaziyah dengan tegas mengatakan, bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, do’a, dan haji. Adapun pahala membaca al-Qur’an secara suka rela dan pahalnya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnu Qayyim, al-Ruh, hal. 142).
            Dan tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hebdaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata merupakan karena Allah SWT. Dan jika ada bagian dari upacara tahilan itu yang menyimpang dari ketentuan syara’ maka tugas ulama’ untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.
            Dari sisi social, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sngat besar untuk menjalin ukhuwah antar anggota masayarakat. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Sabardila MA dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Disamping itu, tahlil juga salah satu alat mediasi  yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta mendatangkan ketenangan jiwa.[1]
            Dengan demikian tahlil yang berisi doa, istighfar, bacaan Al-Qur’an, tasbih, bacaan laa Ilaha Illaallah dan kalimat toiyyibah lainya merupakan hadiah dari orang-orang yang masih hidup kepada orang yang telah mati. Adapun juga sebagai tanda kerukunan antar umat islam yang selalu mendoakan atara muslim satu dan muslim yang lain.

B.     TALQIN
            Talqin adalah bentuk mashdar dari kataلَقَّنَ – يُلَقِّنُ  yang dalam bahasa artinya mendikte, megajar dan memehamka secara lisan atau menuntunarti ini didasarkan pada sabda Rasul SAW, yaitu :
لقِّنو موتاكم قول لااله الاالله
Artinya : Talqinlah mayatmu dengan ucapan LAA ILAAHA ILLALLAH     
Sedangkan menurut istilah adalah adalah mengajari dan menuntun aqidah kepada mayit, dengan harapan si mayit mampu menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
            Ada dua jenis talqin yang di anjurkan dalam islam, yaitu :
A.    Talqin pada saat sakaratul maut
B.     Talqin pada saat jenazah sudah dimakamakan
a)      Talqin pada saat sakaratul maut
Yakni mentalqi orang yang hendak meninggal dunia sebelum nafasnya sampai ditenggorokan, dan hal itu disunnahkan. Bimbingan mengucapkan kalimat Laa ilaahaillallah kepada seorang mukmin supaya dalam akhir hayatnya tetap membawa kalimat Laa ilahaillallah.sebagaimana pandangan Imam Nawawi, yaitu :
تلقين المحتضرِ قبل الغرْغرةِ لااله الاالله سنّةٌ للحديثِ فى صحيح مسلمٍ وغيره "لقنواموتاكم لاالهالاالله واستحبَّ جماعةٌ من اصحابنامعهامحمدٌرسول الله صلّى الله عليه وسلم, ولمْ يذكرْ الجمهور.
Artinya : Mentalqin ( membimbing untuk membaca kalimat tauhid ) orang yang aka meninggal dunia sebelum nafasnya sampai ditenggorokan itu disunnahkan, berdasarka hadits yang terdapat dalam shahih muslim dan lainya, : talqinlah orang yang aa mti diantara kamu denga ucapan laa ilahaillallah. Sekelompok shabat Imam Syafi’I menganjurkan ditambahi kata Muhammad Rasulullah  SAW, namun mayoritas ulama tida perlu ditambah dengan bacaa tersebut. ( Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal. 83).
b)      Talqin pada saat jenazah sudah dimamakan
Imam Nawawi dalam al-Adzkar menjelaskan bahwa membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. [2] Didasarkan pada sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi Umamah :
عن ابى امامة رضي الله عنه قال إذاأنا متُّ فاصنعوا بي كماأمرنارسول الله صلى الله عليه وسلم أن نصنع بموتنا. أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال إذا مات أحد من إخواتكم فسوَّيتم التراب على قبرهِ فليقمْ أحدٌ على رأسِ قبرهِ ثمّ ليقلْ : يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ولا يجيب ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يستوى قاعدا. ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يقول : أرشدنا يرحمك الله ولكن لا تشعرون فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لااله إلا الله وأن محمد عده ورسوله وأنك رضيت باالله ربّا وباالاسلام دينا وبمحمد نبيا وباالقرأن إمام فإن منكرا ونكيرا يأخذ كل واحدٍ منهما بيد صاحبه . ويقول انطلق بنا ما قعدنا عندمن قدلقّن حجّته . فقال رجل يا رسول االلهِ فإن لم يعرفْ أمّه ؟ قال ينسبه إلى أمّهِ حوّاء : يا فلان بن حوّاء (رواه الطبرني فى المعجم الكبير,7979,ونقله الشيخ محمد بن عبد الوهاب في كتابه أحكام تمني الموت ص9 بدون أي تعليق )
Artinya : Dari Umamah r.a “jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang yang wafat diantara kita, seraya bersabda, “Ketika diantara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu merataka tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu diantara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “wahai fulan bin fulanah”, orang yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yag kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya, kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “wahai fulan bin fulanah”, ketika itu juga si mayit bangkit dan duduk dalam kuburnya, orang yag berada di atas kuburan itu berucap lagi, “wahai fulan bin fulanah”, maka si mayit berucap, ”berilah kami petunjuk, dan semoga Allah selalu memberirahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasaka di sini). “ (karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan ituberkata, “ingatlah sewaktu engkau keluar kea lam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah, (kamu juga bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridla menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai Agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan Al-Qur’an sebagai imam (penuntun jalan)mu. (setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegang tangan sambil berkata, “marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata, “setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW , “wahai Rasulullah, bagaiman kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah menjawab, “(kalau seperti itu) dinisbatkan saja ibu Hawa, “wahai fulan bin Hawa”. (HR. al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (7979), Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam Tamami al-Mawt hal. 9 tanpa ada komentar).
            Mayoritas ulam mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dlaif, karena ada seorang perawiya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadlail al-a’mal, hadits ini dapat digunakan.[3]
Menurut Imam al-Adzra’I :
  1. Disunnahkan mentalqin mayit yang sudah baligh sesuai dengan firman Allah yang artinya  berdzikirlah sesungguhnya dzikir itu memberikan manfaat kepada orang-orang yang beriman.
  2. Tidak disunnahkan mentalqin mayit anak yang belum baligh karena dia tidak mendapat fitnah di kuburnya, begitu juga orang gila, hal ini diterangkan dalam kitab I’aahal-thalibin juz 2 halaman 140.
Dengan demikian talqin mayit merupakan hal yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW.

C.    QUNUT
Dalam madzhab Imam syafi’I ada tiga tempat disunnatkannya qunut, yakni ketika terjadi nazilah (bencana, cobaan), qunut pada shalat witir di pertegahan bulan ramadlan, dan terakhir pada shalat subuh.
Tentang kesunnahan qunut shalat subuh ditegaskan oleh kebnyakan ulama salaf dan sesudahnya. Diantara ulama salaf yang mensunnahkan adalah Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu abbas dan Al-Barra’ bin Azib – radliyallahu ‘anhum. (al-majmu’, juz I, hal. 504).dalil yang dijadikan acuan adalah hadits Nabi SAW.
عن أنس ابن مالك قال مازال رسول الله صلّى الله عليه وسلم يقنت فى الفجر حتى فارق الدنيا (رواه احمد 12196)
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, beliau berkata, Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut ketika shalat subuh sehingga beliau wafat. “ (HR. Ahmad 12196).
Ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa membaca do’a qunut ketika subuh adalah tidak sunnah, bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah tidak melaksanakannya. Dibawah ini telah diuraikan berbagai pendapat dari para ulama’ tentang do’a qunut, yaitu :
a)      Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal, mereka berpendapat bahwa shalat subuh itu tanpa qunut karena Rasulullah tidak melakukan hal itu.
عن سعد بن طارق الأشجعيِّ رضي الله عنه قال قلت لأبي يا أبت إنك قد صلّيت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان وعليٍّ أفكانوا يقنتون في الفجر؟ قال أي بنيَّ محدث (رواه الخمسة إلاّ أبا داوود) فمن الحديث النهي عن القنوت في الصبح وبه أخذ أبو حنيفة وأحمد. (إبانة الأحكام , ج ا ص 134)
Artinya :  Dari Sa’id bin Thariq al-A syja’I ra, ia berkata : aku pernah bertanya kepada ayahku, wahai ayah! Sesungguhnya engkau pernah mengerjaka shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bkar, Umar, Utsman, dan ali. Apakah mereka semua berdo’a qunut ketika shalat subuh? Ayahku menjawab, qunut itu merupakan perkara yang baru datang (HR. Khamsah kecuali Abu Daud), dari hadits tersebut tercetuslah hokum berupa larangan qunut subuh,seperti yang dipegang Abu Hanifah dan Imam Ahmad. (Ibanah al-Ahkam, juz I. hal. 431).
b)      Ulama’ syafi’iyah berpendapat bahwa hokum membaca qunut shalat subuh termasuk sunnah ab’ad (apabila ditinggalkan maka sunnah melakukan sujud sahwi). Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi:
مذهبنا أنه يستحب القنوت فيها سواء نزلت نازلة أم لم تنزل وبهذا قال أكثر السلف ومن بعدهم أوكثير منهم وممن قال به أبو بكر الصديق وعمر بن الخطاب وعثمان وعلي وابن عباس والبراّء بن عازب رضي الله عنهم ( المجموع شرح المذهب ج 3 ص 504)
Artinya : Dalam madzhab kita (madzhab Syafi’I) disunnahkan membaca qunut dalam shalat subuh, baik ada bala’ (bencana, cobaan, adzab, dan lain sebagainya), diantaraya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab,Utsaman, Ali, Ibnu Abbas dan al-Barra’ bin Azib ra. Al-Majmu’, juz I, hal 504).
عن أنس بن مالك قال مازال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقنت في الفجر حتى فارق الدنيا (مسند أحمد بن حنبل رقم 12196)
Artinya : Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Beliau berkata : Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut ketika shalat subuh smpai beliau wafat. (Musnad Ahmad bin Hambal, [12196]).
            Pakar hadits al-Allamah Muhammad bin ‘Allan al-Shiddiqi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Rabbaniyah menyatakan bahwa hadits inilah yang benar, dan diriwayatkan serta di shahih kan oleh segolongan pakar yag banyak hafal hadits. Diantara orang yang menyatakan keshaihan hadits ini adalah al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Bakhli, al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan di beberapa tempat yang ditulis oleh al-Baihaqi. Al-Daruqhutni juga meriwayatkan dari beberapa jalur dengan berbagai sanad yang sahih. (al-Futuhat al-Rabbaniyah ‘ala al-adzkar al-Nawawiyah, juz II, hal. 268).
            Sedangkan redaksi do’a qunut yang warid(diajarkan langsung) oleh Nabi Muhammad SAW adalah :
اللهمّ اهدنا فيمن هديت, وعافنا فيمن عافيت, وتولنا فيمن توليت, وبارك لنا فيما أعطيت, وقنا شرما قضيت, فإنك بقضي ولا يقضى عليك, وإنه لايذل من واليت, ولا يعزمن عاديت, تباركت ربناوتعاليت, فلك الحمد على ما قضيت, نستغفرك وأتوب إليك, (رواه النساء 1725, وأبو داوود 1214, والبرميذي 426, وأحمد 1625, والدارمى 1545, بسند صحيح).
Artinya : Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah engkau beri petunjuk, berikanlah kami perlindungan seperti orang-orang yang engkau beri perlindungan, berikanlah kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang engkau berikan pertolongan, berikanlah berkah pada segala yang Engkau berikan kepada kami, jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang telah Engkau pastikan, sesungguhnya Engkau dzat yang maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan, tidak akan hina orang yang Engkau lindungi, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi, Engkau maha suci dan maha Luhur, segala puji bagimu atas segala yang Engkau pastika, kami mohon ampun dan bertaubat pada-Mu. (HR. al-Nasa’I [1725], Abu Dawud [1214], al-Tirmidzi [426], Ahmad [1625], dan al-Darimi [1545] dengan sanad yang shahih).
            Larangan qunut tersebut di atas dikomentari oleh Imam al-Sathi, dia berkata : Dasar hadits yang kemudian dikataka bahwa qunut itu perkara yang baru datang, tidak bisa di jadikan sebagai alas an untuk melarang qunut. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh :
يقدم المثبت على النافي لاشتماله على زيادة علم ( شرح نظم جمع الجوامع ج 2 ص 475)
Artinya : Dalil yang menjelaskan adanya (terjadiya) suatu perkara, didahului oleh dalil yang menyataka bahwa perkara tersebut tidak ada. Sebab adanya penjelasan pada suatu dalil, menunjukkan adanya pemberitahuan (ilmu) yang lebih pada dalil tersebut. (Syarah Nadzam jam’ul Jawami’, juz II, hal. 475).
            Di dalam madzhab Syafi’I sudah di sepakati bahwa membaca doa qunut dalam shalat subuh pada I’itidal raka’at kedua adalah sunnat ab’ad dalam arti diberi pahala bagi orang yang melaksanakannya dan bagi yang lupa disunnatkan menambahnya denga sujud sahwi.
            Dalam kitab al-Ulum jilid I/205 disebutkan bahwa Imam Syafi’I berkata :
ولا قنوت في شيء من الصلوات الاّ الصبح إلاّ أن تنزل نازلة فيقنت في كلها ان شاء الإمام
Artinya : “tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh, kecuali jika teradi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.
            Imam Jalaluddin al-Mahali berkata dalam kitab al-Mahali jilid I/157:
ويسنّ القنوت في اعتدال ثانية الصبح وهو اللهمّ اهدني فيمن هاديت إلى اخره...
Artinya : Disunnahkan qunut pada I’tidal raka’at kedua dari shalat subuh dan dia adalah “ alloohummah dinii fiiman haadait … hingga akhirnya.
A.    Dalil-dalil Kesunnatan Shalat Subuh
Berikut ini dikemukakan dalil-dalil tentang kesunnatan qunut subuh yang diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Hadits dari Anas ra :
انّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قنت شهراً يدعو عليهم ثمّ ترك فأمّا في الصبح فلم يزل يقنت فارق الدنيا
Artinya : Bahwa Nabi SAW pernah qunut selam satu bulan sambil mendo’akan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya. Adapun shalat subuh, maka Nabi senantiasa melakukan qunut hingga beliau meninggal.
            Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok huffadz dan mereka juga ikut menasihkannya. Diantara ulam yang mengakui kesahihan hadits ini adalah Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Balkhi dan al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat di dalam kitabnya serta Imam Baihaqi. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Daruquthni dari beberapa jalan denga sanad-sanad yang sahih.



b.      Hadits dari Awam bin Hamzah daimana beliau berkata :
سئلت أبا عثمان عن القنوت في الصبح قال بعد الرّكوع قلت عمّن قال عن         إبي بكر و عمر و عثمان رضي الله تعالى عنهم (رواه البيهقي)
Artinya : Aku bertanya kepada Utsman tentang qunut pada shalat subuh. Beliau berkata : “Qunut itu sesudah ruku’. Aku bertanya : ”Fatwa siapa?”. Beliau menjawab : “Fatwa Abu Bakar, Umar dan Utsman radliyallahu ‘anhuhm”.
Hadits ini riwayat Baihaqi dan beliau berkata : “isnadnya hasan”. Dan Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dari Umar dengan beberapa jalan.
c.       Hadits dari Abdullah bin Ma’qil al-Thabi’I :
قنت علي رضي الله في الفجر (رواه البيهقي)
Arinya : Ali ra.”Qunut pada shalat subuh”
Diriwayatkan oleh Baihaqi beliau berkata : “hadits tentang Ali ini sahih lagi masyhur”.
d.      Hadits dari Barra’ ra :
انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كان يقنت في الصبح والمغرب (رواه مسلم)
Artinya : Bahwa Rasulullah SAW melakukan qunut pada shalat subuh dan maghrib.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan tanpa penuyebutan shalat maghrib, Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ II/505 mengatakan : “Tidaklah mengapa meninggalkan qunut pada shlat maghrib karena qunut bukanlah sesuatu yang wajib atau karena ijma’ ulama’ telah menunujukkan bahwa qunut pada shalat maghrib itu sudah mansukh yakni terhapus hukumnya”.
e.       Hadits Dario Abi Rofi’ :
انّ عمر قنت في الصلاة الصبح بعد الركوع (رواه البيهقي)
Artinya :  umar melakukan pada shalat subuh sesudah ruku’
            Demikianlah beberapa hadits yang dipakai oleh ulama-ulama Syafi’iyah berkaitan dengan fatwa mereka tentang qunut subuh.


B.     Tempat Qunut Sesudah atau Sebelum Ruku’
Tersebut dalam al-Majmu’ jilid III/506 bahwa : “Tempat qunut itu adalah sesudah mengangkat kepala dari ruku’, ini adalah ucapan Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab dan Utsman serat Ali radliyallohu ‘anhum”.
Merngenai dalil-dalil qunut sesudah ruku’ :
a.       Hadits dari Abu Hurairah :
انّ النّبي صلّى الله عليه وسلم قنت بعد الركوع (رواه البخارى و مسلم)
Arinya : Bahwa Nabi SAW qunut sesudah ruku’ (HR. Bukhari Muslim)
b.      Hadits dari Ibnu Sirih, beliau berkata :
قلت لأنس قنت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم في الصبح قال نعم بعد الركوع يسيرا (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : Aku berkata kepada Anas : apakah Rasulullah SAW melakukan qunut pada shalat subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selersai ruku’ (HR. Bukhari Muslim)
c.       Hadits dari Anas ra :
انّ النبي صلّى الله عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع في الفجر يدعوا على بنى عصيّة (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : Bahwa anbi SAW melakukan qunut selama satu bulan sesudah ruku’ pada shalat subuh sambil mendo’akan kecelakaan atas Banio Ushayyah. (HR. Bukhari Muslim)
d.      Hadits ini dari Awam bin Hamzah dan Rofi’ yang sudah disebutkan pada dalil bagian b dan e tentang kesunnatan qunut subuh.
e.       Riwayat dari Ashim al-Ahwal dari Anas :
انّه اقتى با القنوت بعد الركوع
Artinya : Bahwa Anas berfatwa tentang qunut sesudah ruku’
f.       Hadits dari Abu Hurairah ra, beliau berkata :
كان رسول الله صلّى الله عليه وسلم اذا رفع رأسه من الركوع في صلاة الصبح في الرّكعت الثانية رفع يديه فيدعو بهذالدعاء اللهمّ اهدني فيمن هاديت تاى اخره (رواه الحاكم و صحّحه)
Artinya : Rasulullah SAW jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada raka’at kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdo’a : “Alloohummahdinii fiiman hadait hingga akhirnya”. (HR. Hakim dan dia menasihkannya).
g.      Riwayat dari Salim dari Ibnu Umar :
انّه سمع رسول الله صلّّى الله عليه وسلم اذا رفع رأسه من الركوع في الركعة الأخيرة من الفجر يقول اللهم العن فلانا و فلانا بعد ما يقول سمع الله لمن حمده ربّنا ولك الحمد فأنزل الله تعالى ليس لك من الأمر شئ او يتوب عليهم او يعذبعم فإنهم ظالمون (رواه البخارى)
Artinya : Bahwasanya ibnu Umar mendengar Rasulullah SAW apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada raka’at terakhir shalat subuh, beliau berkata : “Ya Allah ! laknatlah si fulan dan si fulan!”, sesudah beliau mengucapkan sami’allahuliman hamidah rabban walakal hamdu. Maka Allah menurunkan ayat “Tidak ada bagimu sesuatupun dari urusan mereka itu atau dari pemberian taubat terhadap mereka atau juga daripada pengazaban mereka sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (HR. BUkhari).
            Hadits ini dan juga hadits bagian c menunjukkan qunut nazilah yang pernah dilakukan oleh Nabi. Qunut nazilah adalah qunut ketika turun bencan baik itu bencana peperangan, pembunuhan dan bencana-bencana lainnya.
            Terlihat jelas bahwa pada qunut nazilah pun Nabi melakukannya sesudah ruku’ seperti halnya qunut subuh. Memang ada dijumpai beberapa hadits yang menunjukkan pelaksanaan qunut sebelum ruku’ namun terhadap hal tersebut Imam Baihaqi mengatakan sebagaimana tersebut dalam al-Majmu’ :
ورواة القنوت بعد الركوع اكثر واحفظ فهو اولى وعلى هذا درج الخلفاء الراشدون رضي الله عنهم في اشهر الروايات عنهم واكثرها والله اعلم
Artinya : Dan orang-orang yang meriwyatkna qunut sesudah ruku’ lebih banyak dan lebih kuat menghafal hadits,maka dialah yang lebih utama dan inilah jalannya para khalifah yang memperoleh petunjuk – semoga Allah meridloi mereka- pada sebagian besar riwayat dari mereka, wallohu a’lam.
C.    Hokum Mengangkat tangan pada waktu qunut
Dalam masalah ini ada dua pendapat :
a.       Tidak disunnatkan mengangkat tangan pada waktu qunut. Pendapat ini dipilih oleh as-Syairozi, al-Qaffal dan al-Baghawi serta dihikayatkan oleh Imam Haramain dari mayoritas sahabat Syafi’i. Alasan mereka : “karena do’a di dalam shalat tidak pakai mengangkat tangan seperti do’a sujud, do’a tasyahud dan do’a iftitah.
b.      Disunnatkan mengangkat tangan pada waktu qunut. Pendapat inilah yang disahihkan dikalangan madzhab Syafi’I dan dialah pilihan Abu Dawud al-Marzawi, al-Qadhi Abu Tayyib di dalam ta’liqya dan dalam al-Minhaj, Syaikh Abu Muhammad, Ibnu Sabbagh, al-Mutawalli, al-Ghazali, Syaikh Nasrun al-Maqdisi dalam tiga kitabnya yakni al-Intikhab, at-Tahzib dan al-Kafi, begitu juga dengan para ulam yang lain, pengarang al-Bayan berkata : “inilah pendapat mayoritas ulam-ulam Syafi’I”. Imam Hafiz Abu Bakar al-Baihaqi yang merupakan ulam ahli fiqih dan hadits juga memilih pendapat ini dan beliau berhujjah dengan riwayat Anas ra sewaktu menceritakan para qurro’ yang terbunuh. Anas berkata :
لقد رأيت رسول الله صلّى الله عليه وسلم كلّما صلّى الغداة يرفع يديه يدعوا عليهم يعني على الّذين قتلوهم (هذا إسناده صحيح او حسن)
Artinya : Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW setiap kali beliau shalat subuh, beliau mengangkat kedua tangannya sambil mendo’akan kecelakaan atas mereka yakni orang-orang yang membunuh para qurro’.(hadits ini isnadnya sahih atau hasan).
Dengan demikian  dapatlah ditarik satu kesimpulan bahwa pendapat yang sahih dikalangan Imam Syafi’I adalah : ”sunnat mengangkat tangan pada waktu qunut, baik itu qunut subuh, qunut nazilah maupun qunut witir di pertengahan bulan ramadlan sebagaimana yang di jelaskan berikutnya”.
            Adapun megusap wajah sesudah qunut, maka menurut pendapat yang sahih tidak disunnahkan. Dalam Majumu’ III/501 Imam Baihaqi mengatakan : “Aku tidak pernah menghafal dari seorang ulam salaf perihal mengusap wajah sesudah qunut walaupun mengusap wajah itu ada diriwayatkandari sebagian mereka pada waktu berdo’a di luar shalat. Adapun di dalam shalatr, maka mengusap wajah adalah satu perbuatan yang tidak ada keterangnannya baik dari hadits, atsar maupun qiyas, maka yang utama adalah tidak mengerjakannya dan mencukupkan saja dengan apa yang dinukil dari para ulam salaf yakni “mengangkat tangan dengan tanpa mengusap wajah”.

D.    BILANGAN SHALAT TARAWIH
Tarawih adalah salah satu ibadah yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW pada bulan Ramadlan, dilaksanakan setelah Isya’ dan di akhiri dengan witir.
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738).
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21).
            Mengenai bilangan jumlah shalat tarawih, ulama berbeda pendapat :
  1. menurut Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Imam Hmad, dan Imam Dawud sebanyak 20 raka’at dengan 10 salaman selain witir dan setiap 4 raka’at 2 salaman melakukan istirahat. Berdasarkan riwayat Imam Baihaqi dan lainnya dengan sanad yang sahaih.
  2. menurut al-Qodli ‘Iyadh danri jumhur ulama diceritakan, sesungguhnya sahabat ashwat bin mazid mengerjakan shalat tarawih sebanyak 40 raka’at dan shalat witir sebanyak 7 raka’at.
  3. menurut Imam Mlik sebanyak 36 rakaat selin witir, dengan alas an karena ahli madinah mengerjakan shalat tarawih denga bilangan ini.
  4. menurut Imam Nafi’ sebanyak 39 raka’at (36 shalat tarawih dan 3 shalat witir).
Keterangan dalam kitab al-Majmu’ Syarah Muhadzab bab Shalat at-Tathawu’, juz 4, hal. 38, keterangan mengenai khilaf  bilangan shalat tarawih ini juga diterangkan da;lam kitab Mizan al-Kubra, juz I, hal. 184.
(فرع) في مذاهب العلماء في عدد ركعات التراويح* مذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات غير الوتر وذالك خمس ترويحات والترويحة أربع ركعات بتسليمتين هذا مذهبنا وبه قال ابوحنيفة وأصحابه وأحمد وداوود وغيرهم ونقله القاضى عياض عن جمهور العلماء وحكي ان الأسود بن مزيد كان يقوم بأربعين ركعة ويوتر بسبع وقال مالك التراويح تسع ترويحات وهي ستة وثلاثون ركعة غير الوتر واحتج بأن أهل المدينة يفعلونها هكذا . وعن نافع قال أركت الناس وهم يقومون رمضان بتسع وثلاثين ركعة يوترون منها بثلاث * واحتج أصحابنا بما رواه البيهقى وغيره بلإسناد الصحيح (المجموع شرح المذهب باب صلاة التطوع الجوز 4 ص 38)
Lebih lanjut dalam kitab Subul al-Salam ada salah satu hadits Nabi yang berbunyi :
عن إبن عباس قال أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلى في رمضان عشرين ركعت الوتر
Artinya :Diceritakan dari Ibnu Abbas ra : sesungguhnya Ibnu Abbas berkata : Rasulullah SAW mengerjakan shalat tarawih 20 raka’at dan shalat witir dibulan Ramadlan. (Subul al-Salam, juz II, hal. 10).

عن مالك عن يزيد بن رومان أنه قال كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثالث وعشرين ركعة.
Artinya : Diceritakan dari Malik dari Yazid bin Rumman. Dia berkata : manusia dimasa Umar bin Khattab telah melakukan shalat tarawih 23 raka’at di bulan ramadlan. (Tanwir al-Hawalik, hal. 138).
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
Artinya : “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
Artinya : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits  di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’  dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah), Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Hujjah daripada Imam-imam Madzhab yang empat sehingga memfatwakan bahwa rakaat shalat tarawih itu 20raka’at adalah sebagai berikut :
a.       hadits riwayat Baihaqi dan selainya dengan isnad yang sorih lagi sahih dari  Sa’ib bin Yazid, seorang sahabat Nabi  yang terkenal dimana beliau berkata :
كانوا يقومون على عهد عمر ابن الخطّاب –رضي الله عنه- في شهر رمضان بعشرين ركعة
Artinya : Para sahabat melakukan shalat tarawih dimasa Umar bin Khattab ra pada bulan ramadlan dengan dua puluh raka’at.
b.      Hadits riwayat Imam Malik dalam al-Muwattho’ dan juga riwayat Imam Baihaqi dari Yazid bin Ruman, beliau berkata :
كان النّاس يقومون في زمن عمر ابن الخطّاب –رضي الله عنه- بثلاث وعشرين ركعة
Artinya : para sahabat melakukan ibadah malam dizamannya Umar bin Khattab ra dengan duapuluh tiga raka’at.
Yakni duapuluh raka’at tarawih dan tiga raka’at witir.
c.       Hadits riwayat al-Hasan
اّن عمر –رضي الله عنه – جمع الناس على ابيّ بن كعب فكان يصلّى لعم عشرين ركعة ولا يقنت بهم إلاّ فى النّصف الثّاني فإذا كان العشر الأواخر من رمضان تخلّف ابيّ فصلّى في بيته فكانو يقولون : ابق ابيّ
Artinya : Bahwasanya Umar ra mengumpulkan orang-orang dibelakang Ubay bin Ka’ab lalu beliau mengimami mereka shalat tarawih 20 raka’at, beliau beserta segenap jama’ah tidak melakukan qunut kecuali pada pertengahan ramadlan yang kedua, apabila sepuluh yang terakhir pada bulan ramadlan telah tiba, maka beliau tidak keluar (ke masjid), beliau melakukan shalat dirumah sehingga orang-orang pada berkata : “Ubay bin Ka’ab telah melarikan diri”.
            Ibnu qudomah didalam kitabnya al-Mughni mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ yakni kesepakatan para ulama mujtahid mengenai shalat tarawih 20 raka’at. Beliau menolak Imam Malik yang mengatakan di dalam riwayatnya yang kedua bahwa shalat tarawih itu 36 raka’at. Beliau berkata : “Qiyamullail di bulan ramadlan yakni shalat tarawih adalah 20 raka’atdan hukumnya sunnah mu’akkadah”. Beliau juga berkata :
والمختارعند ابي عبد الله رحمه الله – يريد احمد بن حنبال – فيها عشرون ركعة وبهذا قال الثوري وابو حنيفة والشافعي وقال مالك ستّة وثلاثون ركعة وتعلّق بفعل اهل المدينة
Artinya : Pendapat yang terpilih menurut Abu Abdillah yakni Ahmad bin Hammbal adlah bahwa shalat tarawih itu 20 raka’at, inilah juga pedapat Imam Tsauri, Imam Abu Hanifah dan Imam syafi’i. adapun imam Malik (dalam riwayatnya yang kedua) berkata bahwa tarawih itu 36 raka’at. Hal ini karena berdasarkan pada amalan penduduk Madinah.
            Selanjutnya beliau berkata : “Andai bisa ditetapkan bahwa penduduk Madiah selalu melakukan shalat tarawih 36 raka’at namun apa yang telah dilakukan oleh sahabat Umar dan disepakati pula oleh para sahabat yang lain dimasa beliau adalah lebih utama untuk diikuti”.
            Sebagian ahli ilmu berkata bahwa sebabnya penduduk madinah melakukan yang demikian hanyalah karena mereka ingin mengimbangi shalat tarawihnya penduduk makkah. Penduduk mekkah selaluy melakukan tawaf tujuh putaran setiap selesai satu tarawih (yakni 4 raka’at atau 2 kali salam). Maka penduduk madinah mengganti dengan satu thawaf yang tidak bisa mereka lakukan di madinah itu dengan tarawih 4 raka’at, karena penduduk mekkah itu dengan satu kali tarawih melakukan 4 kali thawaf yakni sampai tarawih yang keempat (adapun pada tarawih yang kelima yakni yang terakhir mereka tidak melakukan thawaf  karena langsung shalat witir), maka penduduk madinahpun menambah raka’at tarawih mereka sebanyak 16 raka’at (yakni 4 x 4) sehingga keseluruhan shalat tarawih mereka menjadi 36 raka’at. Namun demikian ditekankan sekali lagi bahwa apa yang dilakukan oleh sahabat Nabi adalah lebih utama dan berhak untuk diikuti.
            Dengan demikian shalat tarawih sunnah dilaksanakan denga berjama’ah, jumlah raka’atnya menurut kebanyakan ulama’ adalah 20 raka’at (10 salam) ditambah 3 raka’at shalat witir.

E.     ADZAN DUA KALI DALAM SHALAT JUM’AT
          Pelaksanaan shalat jum’at umumnya diawali dengan adanya adzan pertama sebagai tanda masuknya waktu dhuhur dan adzan kedua mengiringi khutbah. Bagaimanakah dasar pelaksanaan dua adzan sebelum shalat jum’at tersebut ?
            Dalil yang menerangkan adzan jum’at dalam al-Qur’an surat Al-Jum’at ayat 9:
يا أيها الذين آمنوا إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع ذالكم خير لكم ان كنتم تعملون
“Hai orang-orang beriman, apabila diseur untuk menunaikan shalat, maka bersegaralah kamu kepada mengingat Allah Swt. Dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Jum’at).
            Dua adzan yang dilaksanakan sebelum shalat jum’at pertama kali dilaksanakan pada zaman sahabat Utsman ra., karena pada saat itu semakin bertambahnya jumlah penduduk dan jarak pemukiman penduduk dengan masjid yang jauh serta aktifitas perdagangan dengan masjid yang jauh serta aktifitas perdagangan yang semakin pesat, sehingga adzan yang semula satu kali (dikumandangkan saat imam diatas mimbar) menyebabkan banyak dari mereka ketinggalan shalat jum’at. Dengan pertimbangan diatas, maka sahabat Utsman menambah adzan lagi di tempat lain yang tinggi (menara). Hal ini menerangkan dalam kitab Shahih Bukhari :
عن الزهرى قال سمعت السائب بن يزيد رضي الله عنه يقول ان الاذان يوم الجمعة كان اوله حين يجلس الامام يوم الجمعة على المنبر في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وابي بكر وعمر رضي الله عنهما فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا امر عثمان يوم الجمعة بالاذان الثالث فأذن به على الزوراء فثبت الامر على ذالك
      “dari Al-Zuhri, ia berkata; saya mendengarkan dari Saib bin Yazid ra. Beliau berkata, sesungguhnya pelaksanaan adzan pada hari jum’at pada masa Rasulullah Saw. Sahabat Abu Bakar dan Umar hanya satu kali, yaitu dilakukan krtika imam duduk diatas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman dan kaum muslim semakin banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga..adzan tersebut dikumandangkan diatas Zaura’ (nama pasar) maka tetaplah perkara tersebut sampai sekarang. (shahih Bukhari, juz I hal.315 hadits nomor 916).
            Dalam kitab Fathul Mu’in menerangkan :
      ويسن اذانان لصبح واحد قبل الفجر واخره بعده فان اقتصر فالاولى بعده واذانان للجمعة احدهما بعد صعود الخطيب المنبر والاخر الذي قبله 
      “disunnahkan adzan dua kali untuk shalat subuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Dan jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah adzan dua kali untuk shalat jum’at. Yang pertama setelah khatib naik ke mimbar dan yang kedua sebelumnya. (Fathu Al-Mu’in, hal. 15).
Dalam kitab Tanwir al- Qulub :
قال في تنوير القلوب مانصه – فلما كثر الناس في عهد عثمان أمرهم بآذان آخر على الزوراء واستمر الامر الى زماننا هذا ,وهذا الاذان ليس من البدع لانه فى زمان الخلفاء الراشدين لقوله عليه الصلاة والسلام : فعيكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين
“Didalam kitab tanwir ada teks sebagai berikut : ketika kaum muslimin berkembang menjadi cukup banyak dizaman utsman, ia memerintahkan mereka melaksanakan adzan lain di zaura’, dan perintah itu berlaku hingga zaman sekarang. Adzan ini bukan bid’ah (amal diluar agama) karena praktikini sudah ada dizaman Khulafa’al-Rasyidin. Ada sabda Rasul yang menegaskan : kalian hendaknya tetap berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ al-Rasyidin”.
    Dalam kitab Mawahib al-Laduniyyah :
ثم ان فعل عثمان رضي الله عنه كان اجماعا سكوتيا لانهم لاينكرونه عليه
“Apa yang dilakukan dizaman Utsman sudah menjadi ijma’ sukuti kaum muslimin karena mereka tidak dapat menolaknya”.
            Dengan demikian disunnahkan adzan dua kali sebelum shalat jum’at, yakni adzan pertama sebelum khatib naik mimbar dan adzan kedua pada saat khatib sudah naik mimbar. Hal ini merupakan hasil ijtihad Sayyidina Utsman ra. Dengan pertimbangan supaya tidak ada yang tertinggal dalam shalat jum’at. Kesimpulannya adalah adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan merupakan bid’ah, sebab perbuatan itu memiliki landasan atau dalil yang kuat dari salah satu sumber hokum Islam yakni ijma’ para sahabat.

F.     MENGUCAPKAN USHOLLI DALAM NIAT SHALAT
a.       Mengucapkan niat dengan lisan
Telah kita ketahui bersama bahwa niat dalam beribadah itu memiliki arti yang sangat penting, oleh karena itu dalam setiap ibadah harus selalu diikuti dengan niat, karena tanpa adanya suatu niat dalam ibadah dianggap tidak sah, sekalipun kedudukan niat terdapat di dalam hati. Dasarnya ialah hadits Nabi SAW, riwayat Muslim, dari Umar bin Khattab, katanya :
إنّما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى
Artinya : sesungguhnya segala amal perbuatan itu menurut niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah kebaikan apa yang telah mereka niatkan.[4]
            Akan tetapi jika niat tersebut diucapkan dengan lisan, maka hukumnya adalah boleh, sebab sifatnya hanya sebagai penolong supaya hati dan mulut menjadi satu kata. Dari factor inilah, kaum Nahdliyin mempraktekkannya dengan cara tiga pekerja dikerjakan sekaligus, yaitu :
1)      Mulutnya mengucapkan usholli dengan suara yang bisa didengar oleh telinganya sendiri
2)      Hatiya berniat untuk mengerjakan shalat
3)      Kedua tangannya diangkat dengan membaca takbir
Bahkan dalam membaca usholli terkadang dilakukan berkali-kalidengan harapan untuk mencari kemantapan diri.[5]
            Dari kasus amaliah sepreti itulah muncul fenomena di masyarakat bahwa jika ada orang shalat lalu terdengar suara usholli, dapat dipastikan orang tersebut termasuk kaum Nahdliyin.
b.      Hukum Mengucapkan Niat Dengan Lisan dan Dasar Amaliyah
Adapun dasar dalam niat setiap beribadah adalah wajib. Dasarnya ialah ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW sebagai berikut :
وما أمروا إلاّ ليعبد الله مخلصين له الدين حنفاء
Artinya: Padahal mereka tidak diperintah kecuali hanya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatannya hanya kepada-Nya dalam agama secara lurus. (al-bayyinah: 5)
1)      Hadits riwayat Ibnu Majjah dari Abu Hurairah RA, yaitu :
إنما يبعث الناس على نيّاتهم
Artinya: Sesungguhnya manusia itu akan dibangkitkan menurut niatnya.[6]
2)      Hadits riwayat muslim, dari Anas, yaitu :
عن أنس رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لبيك عمرة وحجاّ
Artinya: dari Anas, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW mengucapkan labbaika aku sengaja mengerjakan umroh dan haji[7]
            Adapun hokum melafalkan niat dalam lisan dengan suara yang cukup didegar sendiri adalah sunnah, sebagaimana komentar para ahli hokum islam dalam kitab-kitab sebagai berikut:
a.       Kitab al-Asybah wa al-Nadlair, yaitu:
من عزم على المعصية ولم يفعلها أوْلم يتلفّظْ بها لايأثم لقوله صلّى الله عليه وسلم إنّ الله تجاوز لأمّيى ما حدّثت به نفوسها ما تتكلم أو تعمل به
Arinya: Siapa berniat berbuat ma’siyat tapi belum mengerjakannya atau belum mengucapkannya, ia tak berdosa, sebab rasul bersabda : Allah memaafkan umatku selama hatinya baru niat, belum diucapkan, atau belum dikerjakan.[8]
b.      Kitab Mizan li al-Sya’raniy, yaitu :
ومن ذالك قول الامام ابي حنيفة واحمد انه يجوز تقديم النّية على التكبير بزمان يسير مع قول مالك والشافعي بوجوب مقارنتها لتكبير وانّها لا تجوئ قبله ولا بعده ومع قول القفّال امام الشفيعيّة ربّما قارنت النيّة ابتداء التكبير انعقدت الصلاة
Artinya: Berdasarkan alas an hadits di atas juga Abu Hanifah dan Imam Ahmad berkata: sesungguhnya boleh mendahulukan niat atas takbir asal saja belum lama. Akan tetapi bagi Imam Malik dan Imam Syafi’I mewajibkan bersamaan antara niat dan takbir. Tetapi bagi Imam Qaffal (pengikut Syafi’iyah) niat pada awal takbir itu sah.[9]
c.       Kitab Nihayah al-Mukhtaj, yaitu:
ويندب النطق باالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه ابعد عن الوسواس
Artinya: disunnahkan hokum mengucapkan apa yang diniati (seperti kalimat USHOLLI) sebelum takbirotul ihram, supaya lisan bisa membantu hati, sehingga bisa terhindar dari was-was.[10]
- Niat berbuat baik sudah dinilai sebagai amal kebaikan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ
“Barang siapa yang berhasrat melakukan kebaikan lalu dia belum mengerjakannya maka dicatat baginya satu kebaikan. “ (HR. Muslim, 1/118, dari Abu Hurairah).



Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:
فَالنِّيَّةُ فِي نَفْسِهَا خَيْرٌ وَإِنْ تَعَذَّرَ الْعَمَل بِعَائِقٍ
Artinya : “Maka, niat itu sendiri pada dasarnya sudah merupakan kebaikan, walau pun dia disibukkan oleh uzur untuk melaksanakannya.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/352)
- Besar atau kecilnya perbuatan di mata Allah Ta’ala tergantung niatnya
Berkata Imam Al Ghazali:
إِنَّ النِّيَّةَ تُعَظِّمُ الْعَمَل وَتُصَغِّرُهُ ، فَقَدْ وَرَد عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ : رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ
 َ
“Sesungguhnya niat dapat membesarkan dan mengecilkan amal. Telah diriwayatkan dari sebagian salaf: bisa jadi ada amal kecil yang menjadi besar karena niatnya, dan bisa jadi ada amal besar menjadi kecil karena niatnya.” (Al Ihya, 4/353)
Hal ini didasarkan pada hadits:
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
“Niat seorang mu’min lebih baik dari pada amalnya.” (HR. Ath Thabarani Dalam Al Mu’jam Al Kabir, 6/185-186, dari Sahl bin Sa’ad As Saidi. Imam Al Haitsami mengatakan: “ Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)
- Pertolongan Allah Ta’ala sejauh kadar niatnya
Imam Al Ghazali mengatakan:
“Salim bin Abdullah telah menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz: “Ketahuilah bahwa pertolongan Allah Ta’ala bagi hambaNya tergantung kadar niatnya. Barang siapa yang niatnya utuh maka sempurnalah pertolongan Allah untuknya, dan jika niatnya berkurang maka berkurang pula pertongan Allah sesuai berkurangnya niat. ” (Al Ihya’, 4/353)
Jika Lisan dan Hati berbeda maka yang diinilai adalah yang di hati bukan di lisan, Jika lisan seseorang berbeda dengan hatinya, maka hatinyalah yang dinilai. Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah menjelaskan:


وإن تلفظ بلسانه ولم ينو بقلبه لم يجزئه. وإن نوى بقلبه ، ولم يتلفظ بلسانه أجزأه.
Artinya : “Dan, jika lisannya melafazkan tapi hati tidak berniat maka itu tidaklah mencukupi (baca: tidak sah). Jika berniat di hati, tetapi tidak dilafazkan di lisannya, maka sudah mencukupi (sah).” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/138)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili juga menambahkan (saya ringkas), bahwa jika berbeda antara lisan dan hati maka yang di hatilah yang dinilai. Seandainya seseorang di hatinya berniat untuk wudhu, sementara lisannya mengatakan ingin kesejukan, maka wudhu tetap sah, dan jika dibalik maka menjadi tidak sah. Begitu pula jika di hatinya niat zhuhur, di lisannya ashar, atau di hatinya haji namun di lisannya umrah, atau sebaliknya, maka yang di hatilah yang sah. Di dapatkan pada sebagian kitab kalangan Hanafiyah (Al Quniyah Al Mujtaba): bahwa jika seorang tidak mampu menghadirkan niat di hatinya atau ada keraguan di hatinya maka cukup baginya mengucapkan secara lisan, karena Allah Ta’ala berfirman: Allah tidaklah membebani seseorang di luar kemampuannya. (Al Baqarah (2): 286)
Jika lisan seseorang dalam melafazkan sumpah kepada Allah Ta’ala mendahului niatnya, maka menurut jumhur (mayoritas ulama) kecuali menurut kalangan Hanafiyah, sumpahnya itu tidaklah mengikatnya, itu hanyalah sumpah secara bahasa yang tidak ada kiffarah atasnya.
Sejak berabad-abad lamanya, umat Islam mulai dari ulama hingga kaum awamnya, berpolemik tentang melafazkan niat (At Talafuzh An Niyah), seperti lafaz niat hendak shalat: ushalli fardha subhi rak’ataini mustaqbilal qiblati ada’an lillahi ta’ala, atau lafaz niat hendak wudhu: nawaitu wudhu’a liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala, atau lafaz niat hendak berpuasa Ramadhan: nawaitu shaama ghadin an ada’i fardhusy syahri Ramadhana haadzihis sanati lillahi ta’ala, dan lainnya. Di negeri ini, kalimat-kalimat ini sering diajarkan dalam pelajaran agama di sekolah-sekolah dasar, umumnya pesantren, dan forum-forum pengajian. Polemik ini bukan hanya terjadi di negeri kita, tapi juga umumnya di negeri-negeri Muslim. Di antara mereka ada yang membid’ahkan, memakruhkan, membolehkan, menyunnahkan, bahkan mewajibkan (namun yang mewajibkan adalah pendapat yang syadz –janggal lagi menyimpang).
Di sisi lain, tidak ada perbedaan pendapat tentang keberadaan niat di hati dalam melaksanakan ibadah. Mereka juga sepakat bahwa melafazkan niat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat, dan tabi’in, bahkan imam empat madzhab. Perbedaan mereka adalah dalam hal legalitas pengucapan niat ketika ibadah.
Menurut Pendapat Madzhab
Sebelumnya, mari kita tengok bagaimana pandangan para ulama madzhab tentang melafazkan niat dalam beribadah ritual.
Pendapat kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) berdasarkan pendapat yang dipilih, dan Syafi’iyah (pengikut imam Asy Syafi’i) serta Hanabilah (Hambaliyah-pengikut Imam Ahmad bin Hambal) menurut pendapat madzhab bahwasanya melafazkan niat dalam peribadatan adalah sunah, agar lisan dapat membimbing hati.
Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah menyatakan bahwa melafazkan niat adalah makruh. Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) mengatakan bolehnya melafazkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka baginya dianjurkan untuk melafazkannya untuk menghilangkan kekacauan dalam pikirannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/67)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah menyebutkan:
“Secara qah’i melafazkan niat tidaklah menjadi syarat sahnya, tetapi disunahkan menurut jumhur (mayoritas) ulama -selain Malikiyah- melafazkannya untuk menolong hati menghadirkan niat, agar pengucapan itu menjadi pembantu dalam mengingat, dan yang lebih utama menurut kalangan Malikiyah adalah meninggalkan pelafazan niat itu, karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tentang melafazkan niat, begitu pula tidak ada riwayat dari imam yang empat.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137)
Jadi, secara umum kebanyakan ulama madzhab adalah menyunnahkan melafazkan niat, ada pun sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah memakruhkan. Sedangkan Malikyah membolehkan walau lebih utama meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka dianjurkan mengucapan niat untuk mengusir was-was tersebut. Sedangkan para imam perintis empat madzhab, tidak ada riwayat dari mereka tentang pensyariatan melafazkan niat.
Pandangan Pribadi Para Imam Kaum Muslimin
Berikut adalah pandangan para ulama yang mendukung pelafazan niat, baik yang menyunnahkan atau membolehkan.
1. Imam Muhammad bin Hasan Rahimahullah, kawan sekaligus murid Imam Abu Hanifah Rahimahullah.
Beliau mengatakan:
النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل
Artinya : “Niat di hati adalah wajib, menyebutnya di lisan adalah sunah, dan menggabungkan keduanya adalah lebih utama.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/100).
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Rahimahullah
Beliau mengatakan:
وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ )
Artinya : “(Disunahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum takbir) agar lisan membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat yang syadz (janggal), sunnahnya ini diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji (yakni pengucapan kalimat talbiyah, pen).” (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285).
3. Imam Syihabuddin Ar Ramli Rahimahullah
Beliau mengatakan:
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس وللخروج من خلاف من أوجبه
Artinya : “Dianjurkan mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was dan untuk keluar dari perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya.” (Nihayatul Muhtaj, 1/457. Darul Fikr)
4. Imam Al Bahuti Rahimahullah
Beliau mengatakan ketika membahas niat dalam shalat:
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا
Artinya : “Tempatnya niat adalah di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunah) diucapkan lisan ..” (Kasyful Qina’, 2/442. Mawqi’ Islam).
Dan lain-lain.
Para ulama yang mendukung at talafuzh an niyah beralasan:
1. Ayat yang berbunyi: Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan (QS. Qaf : 18).
Dengan demikian melafadzkan niat dgn lisan akan dicatat oleh malaikat sebagai amal kebaikan.
Ayat lainnya:
Kepada Allah jualah naiknya kalimat yang baik (QS. Al Fathir : 10).
Maksudnya segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).
2. Mereka mengqiyaskan (menganalogikan/mencari unsur yang sama) pelafazan niat dengan pelafalan kalimat talbiyah dalam haji, yaitu kalimat: Labaik Allahumma labaik …dst.
3. Hadits-Hadist dasar Dasar Talaffuzh binniyah (melafadzkan niat sebelum takbir)
Diriwayatkan dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas Radhiallahu ‘Anhu. Beliau berkata :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
Artinya : “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilanMu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”. (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz binniyah diwaktu beliau melakukan haji dan umrah.
Imam Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Ushalli ini diqiyaskan kepada haji. Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.
Hadits Riwayat Bukhari dari Umar Radhiallahu ‘Anhu. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq : ”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah: “Sengaja aku umrah di dalam haji”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.





  


DAFTAR PUSTAKA

Abdussomad, KH. Muhyiddin, Hujjah NU : Aqidah-Amaliyah-Tradisi,
( Surabaya Khalista, 2008)

Abdul Hadi, KHM. Sulthon – Zein. MA, Drs. M. Ma’shum, Landasan Amaliyah Nahdliyah,(Jombang, DPC PKB, 2008)

H. Mujiburrohman, Argumentasi Ulama’ Syafi’iyah Terhadap Beberapa Tujuan Bid’ah, ( Surabaya Mutiara Ilmu, 2003)

http://adivictoria1924.wordpress.com/2012/02/13/tentang-niat-dan-polemik-melafazkan-niat-ushalli-dan-nawaitu/

Santri Madrasah Diniyah MM Darut Taqwa PonPes Ngalah Periode 1430/1431, Fiqih Galak Gampil, Menggali Dasar Tradisi Keagamaan Muslim ‘Ala Indonesia, (Madrasah Diniyah MM Darut Taqwa, Jl. Pesantren Ngalah  Pandean Sengonagung Purwoasri Pasuruan)


[1] Lebih jelas lihat : (Sumber Konflik Masyarakat Muslim NU-Muhammadiyah : Persoektif Keberterimaan Tahlil, diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 257-259).
[2] Ini adalah pendapat sekelompok ulam serta mayoritas ulama Syafi’iyah. Ulama yang mengataka kesunahan ini diantaranya adalah al-Qadli Husain dalam kitab Ta’liqnya, murid beliau yang bernama Abu Sa’ad al-mutawalli dalam kitabya al-Tatimmah, Syaikh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, al-Imam Abu Qasim al-Rafi’I, dan lainnya. Al-Qadli Husain menyitir pendapat ini dari kalaga Syafi’iyah,” al-Adzkar al-Nawawiyah, hal.206).
[3] Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani menegaskan bahwa sekalipun hadits tentang talqin ini hadits dlaif, namun dapat diamalan dalam rangka fadlail al-a’mal. Lebih-lebih karena hadits itu masuk pada kategori prinsip yang universal, yakni usaha seorang mukmin untuk memberi (dan membantu) saudaranya, serta untuk memperigatknannya karena perigatan itu akan dapat bermanfaat kepada orang mukmin. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, hal. 111).
[4] Imam Muslim, Sahih….., Op-Cit, juz: II, hal. 157-158
[5] Al-Ramli, Muhammad Syamsuddin, nihayah al-Mukhtaj, juz: I, (Beirut, Maktabah Dar al-Fikr, tth), hal: 437.
[6] Al-Suyuti, al-Jami’ al-Saghir…., Op-Cit, juz: 1, hal: 104
[7] Muslim, Shahih…., Op-Cit, Hadits Indek Nomor: 2168
[8] Al-Suyuti, Al-Asybah wa an anhzair, hal:25
[9] Al-Sya’rany, al-Mizan li as Sya’rany, hal: 148
[10] Al-Ramly, Nihayah….., LoCit, juz: I

1 komentar: